Saya hanyalah Guru bukan "Guru"

| No comment
Filosofi "guru" sepertinya sudah tidak nikmat lagi di telinga. Dunia yang semakin sempit dan menghimpit, kebutuhan hasrat yang merongrong jiwa, dan sikap pragmatis sebagai buntut dari sikap konsumis, menjadi lawan yang sangat berat bagi "guru"; sebuah kata yang mengajak manusia menekini jalan budi luhur, pengabdian tanpa pamrih, dan pemgorbanan. Berprofesi menjadi guru tidak jauh beda dari profesi polisi, hakim, ditektur, dan lainnya.
.
Meskipun hal di atas hanya opini, asumsi, atau dugaan sangat lemah, namun pada kenyataannya saya menyaksikan -atau juga menafsir-nafsirkan- realita yang berada di jalur rel yang menuju ke arah tersebut. Seperti, maraknya peminat pegawai negeri sipil yang sering menimbulkan kecemburuan, karena pegawai ini menerima gaji besar dengan hanya bekerja ±6 jam dalam sehari. Hampir tidak sebanding dengan profesi lainnya yang dituntut bekerja 8-10 jam perhari.
.
Contoh lainnya adalah sistem kredit poin untuk bisa kenaikan pangkat, sertifikasi, dan urusan administratif lainnya yang membuat keruh makna "guru".
.
Karena guru adalah jalan hidup, misi perubahan dan pematangan spiritual yang menghargai proses bukan instan.
.
Sikap pragmatis kita telah memperkeruh makna. Tapi semua itu tidaklah salah. Memang seharusnya menjadi professional berarti beralih dari apa adanya menjadi terukur, terencana, tertata sesuai SOP yang telah ditentukan. Membuat standar minimal, tolok ukur keberhasilan, kriteria-kriteria. Bekerja seperti ini sangat statis pada angka-angka. Sedangkan menjadi "guru" adalah metaangka; melompati batas aturan angka. Seperti tasawuf yang melompati batas syariat. Tapi bukan berarti syariat tidak penting. Bukan berarti angka tidak penting. Keduanya berada d dunia yang berbeda.
.
"Guru" (dengan tanda petik) dan guru adalah dua dunia yang tidak sama. "Guru" (dengan tanda petik dan G capital) mulai tersingkir, terasing, aneh, menjadi sejarah kebanggaan manusia layaknya Mahatma Ghandi, G-nya yang kapital mulai mengecil digantikan guru yang terlahir dari "memimpikan keterjaminan dan kenyamanan usia senja", keterjaminan kesehatan, dan senggangan (bukan kesenjangan).
.
Tapi keduanya -"Guru" dan guru- pernah bertemu pada satu titik untuk membimbing manusia, mengajarkan rambu-rambu kehidupan, membangun pondasi spiritual. Kualitasnya memang beda. Tapi titik temu itu akan kembali dipertemukan, mengingat dunia adalah fana, mengingat jiwa manusia tertetesi kasih sayang Sang Kuasa.
.
Semoga bermanfaat.
Powered by Telkomsel BlackBerry®