"Selamat sore.” Bibirnya menabur
senyum. “Selamat datang di Singapore.” Begitu lanjutnya dengan logat melayunya
yang khas.
Sore itu waktu menunjukkan pukul
tiga waktu setempat. Bus pariwisata mengantarkan kami menyusuri jalan-jalan
protokol, merayap di bawah gedung-gedung pencakar langit. Decak kagum terucap
dari siswa yang sebagian memang jarang menangkap langsung pemandangan serupa
dengan mata telanjang. Sorak kagum pun tak terelakkan lagi ketika mereka
mendengar penjelasan dari tour guider tentang
terowongan dan parkir yang terletak lima belas meter di dalam tanah.
Begitu pula ketika perjalanan
memasuki wilayah Malaysia. Di negeri Johor suguhan beton menjulang tidak begitu
memukau, tapi memasuki Kuala Lumpur satu demi satu saling beradu tinggi mencapai
langit. Terutama ketika dari jendela bus terlihat menara kembar kebanggaan
negeri Jiran itu; Twin Tower atau KLCC, begitu mereka menamainya.
Itulah hasil karya dari
peradaban negeri tetangga. Singapura dengan keterbatasan teritorialnya yang
sempit memicu inovasi-inovasi pengembangan infrastruktur dengan membuat gedung
setinggi-tingginya, dan membuat terowongan sedalam-dalamnya. Bahkan, menurut
guide kami, rencana jangka panjang mereka, dua puluh tahun mendatang aktifitas
warga akan lebih banyak dilakukan di runag bawah tanah.
Malaysia pun demikian,
keberagaman suku membuat mereka harus bersatu padu. Warga Melayu, India dan
China saling bergandeng tangan membangun negeri. “Satu Jiwa Membangun Negeri”
begitulah slogan yang tertulis di ruas tol Johor-Kuala Lumpur.
Tentang Singapura, ketika siswa-siswi berdecak
kagum melihat infrastruktur negara tersebut, saya dan teman saya, Najih
Mustafa, justru sedikit berdiskusi tentang bagaimana Singapura mampu melakukan
ini semua. Kesimpulan dari diskusi itu setidaknya menemukan satu titik bahwa
keterbatasan justru akan melahirkan inovasi.