Resource Gambar: suma.ui.uc.id |
Dalam kalimat penutupnya, Nurcholis Madjid dalam “Islam Sebagai Agama Hibrida” mengatakan, “Jadi sebetulnya tidak ada budaya yang monolitik. Semuanya hibrida.” Kesimpulan tersebut mengingatkan saya pada perkembangan masyarakat Jawa yang terpengaruh oleh nilai Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh dari ketiga agama tersebut terlihat jelas melalui mitos, filosofi hidup, dan tsaqofah yang dilahirkan. Tentu saja pengaruh budaya itu berjalan dalam proses yang tidak singkat.
Pengaruh tersebut bisa dilihat dari aksara hanacaraka, kemudian pegon (Arab Latin). Aksara Jawa tersebut mirip sekali dengan aksara India sebagai asal muasal agama Budha. Selanjutnya, ketika Islam datang dari Gujarat, Islam pun memberi pengaruh budaya setempat sehingga melahirkan aksara Pegon (Arab Latin). Melompat jauh pada masa penjajahan Belanda, budaya setempat mengalami persinggungan kembali untuk mengenal aksara Latin sebagaimana yang digunakan sekarang ini.
Sehingga, kalau ada keluhan yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat latah dengan hal/budaya baru, memang sudah demikian “gen” yang diberikan secara turun temurun. Mentalitas dan budaya yang tertanam lebih sekedar simbol dan “kesenangan”. Sebenarnya saya sendiri mempertanyakan loyalitas saya memegang budaya Timur. Tapi saat ini, bagaimana cara memilah budaya tersebut sehingga terdefinisikan dengan benar.
Seandainya, budaya Timur adalah sopan santun, saat ini berapa sering kita melihat ketidak-sopanan yang dipertontonkan melalui berita cetak dan audio visual? Seandainya budaya Timur adalah nilai-nilai Islam, fanatisme dan apatisme telah membagi-baginya lebih banyak dari nama Allah itu sendiri. Dan satu lagi, lebih matrealistis manakah antara orang-orang Barat, orang Timur, dan mahasiswa? [Jangan jawab politisi ya.]
Juni, 2010